Realistic Mathematics Education (RME) dan Penerapannya di Madrasah Ibtidaiyah

Realistic Mathematics Education (RME)
dan Penerapannya di Madrasah Ibtidaiyah

A. RME dan Sejarahnya
Berbicara mengenai RME, maka tidak akan lepas dengan sosok seorang ahli matematika dan ahli pendidikan Prof. Hans Freudenthal. Hans Freudenthal adalah warga Jerman yang lahir pada tahun 1905 di Luckenwalde. Pada tahun 1930, dia pindah ke Amsterdam, Netherlands dan pada tahun 1946 di menjadi profesor di Universiteit Utrecht. Pada tahun 1971, Freudenthal mendirikan Instituut Ontwikkeling Wiskunde Onderwijs (IOWO) atau Institut for Development of Mathematics Education, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Freudenthal Institut. Freudenthal Institut adalah bagian dari Faculty of Mathematics and Computer Science di Utrect University, yang merupakan tempat pelaksanaan research tentang pendidikan matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal meninggal pada usia 85 tahun tepatnya tanggal 13 Oktober 1990.
Freudenthal menyatakan bahwa matematika adalah “human activity” dan dari ide inilah RME dikembangkan. RME menyatukan pandangan mengenai apa matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Dalam pendidikan matematika, menurut Freudenthal siswa bukanlah sekedar penerima yang pasif terhadap materi matematika yang siap saji, tetapi siswa perlu diberi kesempatan untuk reinvent (menemukan) matematika melalui pratik yang mereka alami sendiri. Suatu pinsip utama RME adalah siswa harus berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar. Siswa harus diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri.
Materi pelajaran perlu bersifat real bagi siswa. Inilah yang menjadi alasan mengapa disebut Realistic Mathematics Education. Tentu saja tidak berarti bahwa RME harus selalu menggunakan masalah kehidupan nyata. Masalah matematika yang bersifat abstrak dapat dibuat menjadi nyata dalam benak (pikiran) siswa.
Alasan mengapa orang Belanda menggunakan istilah “realistic” bukanlah karena RME berkaitan dengan dunia nyata (real world), tetapi juga berkaitan dengan penggunaan masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa. Membayangkan dalam bahasa belanda adalah “zich REALISEren”. Penekanannya adalah membuat sesuatu menjadi nyata dalam pikiran. Jadi masalah yang disajikan tidak selamanya harus berasal dari dunia nyata.
Pembelajaran matematika di Indonesia, pada umumnya dilakukan dengan urutan (1) penyajian definisi/rumus, (2) pemberian contoh/contoh soal, dan (3) pemberian latihan. Latihan kadang kala berupa soal cerita yang terkait dengan penggunaan definisi/rumus dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, tradisi pembelajaran di Indonesia masih cenderung menempatkan pemberian masalah nyata di akhir pembelajaran. Hal ini sangat berbeda dengan RME yang menempatkan pemberian masalah nyata di awal pembelajaran.
RME dimulai dengan pengajuan masalah yang kaya (rich problem), yakni masalah yang dapat diselesaikan dengan berbagai cara yang berbeda.
Karakteristik rich problem adalah.
1. Pemecahannya mengarah pada aktivitas matematika.
2. Pemecahannya dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan.
3. Biasanya diambil dari masalah kehidupan sehari-hari.
4. Pada dasarnya adalah masalah open-ended.
5. Biasanya melibatkan banyak disiplin ilmu lain.
Pada RME, pendidikan matematika lebih ditekankan pada aktivitas, yaitu aktivitas matematisasi. Matematisasi terdiri dari dua tipe yaitu matematisasi vertikal dan matematisasi horisontal. Matematisasi horisontal adalah proses penggunaan matematika sehingga siswa dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah dalam situasi nyata. Matematisasi vertikal adalah proses pengorganisasian kembali dengan menggunakan matematika itu sendiri. Matematisasi horisontal bergerak dari dunia nyata ke dunia simbol atau pentransformasian masalah nyata ke dalam model matematika, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam dunia simbol itu sendiri atau proses dalam matematika itu sendiri.
Berdasarkan dua jenis matematisasi inilah, dibuatlah 4 klasifikasi pendekatan dalam pendidikan matematika, yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik. Pendekatan mekanistik tidak menggunakan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Pendekatan empiristik hanya menggunakan matematisasi horisontal. Pendekatan Stukturalistik hanya menggunakan matematisasi vertikal. Pendekatan realistik menggunakan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal dalam proses belajar mengajar.
Terdapat tiga prinsip dalam RME, yaitu:
1. Guided Reinvention, yakni siswa perlu diberikan kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana suatu konsep matematika ditemukan. Siswa diberikan masalah nyata yang memungkinkan adanya berbagai penyelesaian berbeda.
2. Didactical Phenomenology, yakni topik matematika disajikan berdasarkan aplikasi dan kontribusinya pada materi matematika selanjutnya.
3. Self-Developed Model, yakni siswa mengembangkan model sendiri pada saat menyelesaikan masalah nyata.
Ciri-ciri pembelajaran yang menggunakan pendekatan RME adalah:
1. Menggunakan masalah nyata sebagai titik awal belajar.
2. Menggunakan model sebagai jembatan antara real dan abstrak.
3. Menggunakan kontribusi siswa dalam proses pembelajaran.
4. Pembelajaran berlangsung secara demokratis dan interaktif.
5. Pembelajaran terintegrasi dengan topik lainnya.
B. Tingkat Perkembangan Kognitif Siswa MI
Jean Piaget mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif anak ke dalam empat tahap, yaitu tahap sensori motor (0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap operasi konkret (7-11 tahun), dan tahap operasi formal (11 tahun ke atas). Berdasarkan pengelompokan ini, maka anak MI masuk pada tahap operasi konkret. Hal ini berarti bahwa siswa MI masih sangat tergantung pada benda-benda konkret atau hal-hal nyata untuk dapat memahami sesuatu.
Perkembangan kognitif siswa bergerak dari konkret-semikonkret-abstrak. Kalau meminjam istilah Bruner, siswa bergarak dari tahap enactive, iconic, dan symbolic. Jadi, kurang tepat jika pembelajaran matematika dilakukan dengan urutan yang terbalik, yaitu dari abstrak menuju konkret (dari definisi ke aplikasi).
Objek-objek matematika bersifat abstrak. Keabstrakan matematika perlu diwujudkan menjadi lebih konkret untuk anak MI agar dapat memahami matematika. Upaya untuk mengkonkretkan matematika adalah dengan menggunakan realitas atau lingkungan siswa. Realitas bermakna segala sesuatu yang dapat dipahami siswa baik dengan cara mengamati langsung atau dengan membayangkan. Lingkungan bermakna segala sesuatu yang berada di sekitar siswa, baik lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.
RME pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan untuk mempermudah proses pembelajaran. Hal ini dilakukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. RME menekankan pada reinvention yang dilakukan oleh siswa dengan bantuan guru melalui masalah nyata. Perlu diingat bahwa matematika sendiri adalah abstraksi dari dunia nyata. Matematika adalah hasil pengorganisasian situasi nyata yang mempunyai keteraturan. Dengan demikian, matematika yang bersifat abstrak dapat diupayakan menjadi konkret. Dari hal konkret inilah, siswa melakukan cara yang sama bagaimana matematika yang abstrak ditemukan.
C. Contoh Masalah untuk Penerapan RME di Madrasah Ibtidaiyah
1. Penjumlahan
Seorang siswa diminta untuk membuka “warung” di sudut kelas. Siswa yang lain diminta untuk membeli dua jenis menu dan menghitung berapa harga yang harus dibayar. Daftar menu dan harga dibuat dalam bentuk gambar yang menarik.
2. Pengurangan
a. Suatu mikrolet memuat 12 penumpang dar terminal Arjosari. Ketika sampai di kampus UM, ada yang turun sebanyak 6 orang. Berapa siswa penumpang mikrolet itu sekarang?
b. Di dua halte, dibuat catatan mengenai jumlah penumpang yang naik dan turun pada suatu mikrolet. Halte pertama mencatat jumlah penumpang yang naik dan halte kedua mencatat jumlah penumpang yang turun. Selanjutnya mikrolet melanjutkan perjalanan. Catatan untuk semua mikrolet ada. Yang ditanyakan berapa sisa penumpang setelah masing-masing mikrolet melewati halte kedua.
3. Perkalian
a. Andi mempunyai 3 kucing, berapa jumlah kaki semua kucing Andi.
b. Andi mempunyai 2 kambing dan 5 ayam. Berapa jumlah kaki kambing dan kaki ayam yang dimiliki Andi?
c. Ibu menghidangkan kue pada tamu. Kue ditaruh di 5 piring dan masing-masing piring memuat 6 kue. Berapa kue semuanya.
d. Andi memelihara ayam dan kambing. Setelah dihitung, diketahui bahwa banyaknya kaki ayam dan kaki kambing adalah 32. Berapa banyaknya ayam dan kambing Andi?
4. Pembagian
Ibu mengundang 30 orang tetangga untuk acara syukuran. Ayah menyediakan meja tamu yang mempunyai 6 kursi. Berapa banyaknya meja yang diperlukan untuk tamu?
5. Sistem Persamaan Linear Dua Peubah
Meskipun materi ini diajarkan di MTs, namun materi ini dapat diajarkan di MI dengan pendekatan realistik. Langkah-langkahnya sebagai berikut.
a. Diberi permasalahan nyata yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa berikut.
Ali membeli dua buku dan satu pensil harganya Rp. 5000,00
Amir membeli satu buku dan satu pensil yang sama dengan yang dibeli Ali harganya Rp. 3500,00.
Jika Andi membeli satu buku berapa harganya?
b. Siswa SD menyelesaikan melalui manipulasi gambar atau benda konkret.
Siswa akan tahu bahwa satu buku harganya Rp1.500,00
c. Guru membimbing siswa untuk mengenal konsep SPL dua peubah. Guru mengajak siswa menuliskan harga buku sebagai B dan harga pensil sebagai P. Akan didapat
2B + P = 5000
B + P = 3500
Guru menjelaskan bahwa bentuk tersebut dinamai Sistem Persamaan Linear Dua Peubah.
d. Guru mengajak siswa menyelesaikan SPL tersebut secara formal, sebagai berikut.
2B + P = 5000
B + P = 3500
Persamaan pertama dikurangi persamaan kedua menghasilkan
B = 1500.
Jadi, harga satu buku Rp.1.500,00.

Daftar Pustaka
Seegers, Gerard & Gravemeijer, K. 1997. Implementation and Effect of Realistic Curricula. Dalam Beishuizen, M (eds). The Role of Contexts and Models in the Development of Mathematical Strategies and Procedures. Utrecht: Freudenthal Institute.
Gravemeijer, K.. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrech: CD Press.

Tinggalkan komentar